Rabu, 17 November 2010

Ingatkah Kemarin Kau Dengar Racauan?


Hanya sebuah pinta sederhana; Tuhan, jauhkan aku dari jeratnya.. hindarkan aku dari bisanya.. 

Satu dari kami menggenggamnya.
Lalu satunya lagi.
Dilanjutkan oleh yang lainnya.
Hingga semua ada tiga.

Lama. Biasa saja.
Aku bahkan melepas kepunyaanku tanpa rela.
”Hey, catatan-catatan prosaku! Deretan nomor itu!”

Lama. Rasa tak mengapa.
Satu..
Lalu dua.
Katanya, ”Boleh juga,”
Kemudiannya, ”Dengan ini ada semua!”

Oh! Tak begitu lama.
Langsung ada dua.
“Kapan serah terima?”
“Hari ini juga.”

Tuts-tuts mengangkat sekat.
Terbang sekejap hinggap.
Tepat di kening dekat.
Cengkerama ketujuhnya tanpa jarak.

Aduhai menggoda..

Pagi takbir ini kami tunggu-tunggu,
 “Simpankan gulai ini untuk mereka,”

Sampai masa jutaan kurban naik menyampaikan pesan empunya,
”Tambahkan es, agar mereka datang tak kehausan,”

Matahari pun merayap bersama sekantong daging kurban,
“Katakan pada mereka, kami pulang, titipkan saja salam,”


Lama.

”Kau tahu apa yang terjadi, Puan?”
               ”Sudah kusimpan. Tak ada gunanya dua huruf  be itu, memuakkan!”

“Kau tahu kenapa hariku rusak, hai Puan?”
               ”Aku tak mau dirayu bualan masa depan, lalu ketergantungan!"
                "Aku takut kehilangan..."


Aih.., ingatkah kemarin kau dengar racauan; 
Tuhan, jauhkan aku dari jeratnya.. hindarkan aku dari bisanya..





Syukurku; Papa

Berjuta-juta tahun lalu tak pernah terpikirkan seperti hari ini.
Ya, dulu pernah kuletakkan janji pada Sang Pencipta masih hingga kini syahadat berkali-kali.
Ya, telah juga Ia gariskan tentangku di dunia ini, yang pasti terjadi juga yang bertarung di langit dan menang karena kehendak-Nya.
Ia yang telah mengantarkanku pada sosok gagah bersahaja.
Yang bersamanya adalah ketentraman,

”Seperti yang pernah kukatakan padamu, Pa.., lelap di sampingmu, ya cukup di sampingmu saja tanpa disentuh, sudah membuatku jatuh nyaman hingga tak kuasa beranjak”

Beberapa tahun ke belakang, tak hingganya aku mengeluh, mengumpat.
Persoalan beda zaman,
Masalah kemengertian,
Atau sekadar salah ucap kata yang menghempas kelemahlembutan.

"..dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkari nikmat-Ku”. (Al-Baqarah: 152)

Padahal empat anak gadis ini membuat dadanya rela busung paling depan.
Mengatakan tidak, menemani sampai larut diskusi, juga menjaga hati-hati yang sunyi.
Rela saja.

Lalu inilah lima perempuan yang tak sanggup dipikul langit, bumi, dan gunung-gunung
Alasannya menjadi tegar dan tak lelah belajar hingga menyenja
Jika masanya tiba, Penggenggam Akhir akan membuka bukunya yang paling tebal diantara kami semua.
Tak ada selain selantun doa,
“Ampunilah ia atas dosa-salah kami duhai Allah, curahkan rahmat-Mu padanya, lalu izinkan kami berkumpul kembali dalam kebahagiaan sejati”

Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui”. (An-Nisa’:147) 

Ah... papa, selain kuminta pada Allah agar engkaulah yang membawaku pada perjanjian yang setara saat Sang Kuasa mengangkat Bukit Thursina,
Kumohonkan pula pada-Nya  agar melemahlembutkan aku senantiasa terhadapmu juga kekasihmu, melanggengkan pengabdian terhadapmu juga kekasihmu.  
Sungguh,  berapapun maaf  bisa jadi tak cukup memulihkan goresan ringan dan dalam di telaga hatimu.
Namun, yang paling kusyukuri pada Allah, maaf itu selalu tampak dalam tatap teduhmu
Meski tanpa berkata, meski tak selembut pelukan, tetapi cintamu melelehkan air mata

Maafkan lahir batin ya, Pap...

Seorang anak tidak dapat membalas ayahnya, kecuali anak tersebut mendapati ayahnya menjadi budak kemudian ia membelinya dan memerdekakannya. (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Sabtu, 13 November 2010

Pak Haji dan Bu Haji

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisaa’:142)


Sebutan haji bagi orang-orang yang pulang haji di Indonesia adalah sebuah tradisi. Bahkan, bisa saja seorang Pak Haji atau Bu Haji akan kecewa, mengeluh, atau marah jika sebutan ”haji” tidak tersemat pada nama mereka. Apa gerangan dalam sebutan haji ini?
Pakaian muslimah India/Pakistan. 
Merunut pada pengalaman saya yang menunaikan umroh pada Mei 2009, di Masjidil Haram,  Masjid Nabawi, maupun pasar-pasar, penduduk di sana memanggil para jamaah umroh dan haji dengan sebutan ”Hajj” atau ”Hajjjah”. Mudah bagi mereka untuk mengenali para jamaah ini melalui wajah-wajah asing dan pakaian khas dari tiap-tiap negara. Dalam suatu thawaf, penulis mendengar seorang askar[1] di Masjidil Haram menegur seorang jamaah wanita dari India/Pakistan, ”Hajjah.. hajjah.. aurah! Thawaf nehi kabul!” Sebagai informasi, kebanyakan dari jamaah wanita India, baik di Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi tidak menggunakan hijab rapat. Mereka menggunakan baju panjang sampai lutut sebagai baju atasan, dengan bawahan celana khas perempuan India/Pakistan, dan dilengkapi dengan kain panjang tipis yang dililitkan di sekitar badan bagian atas sebagai kerudung, tanpa peniti atau apapun yang dapat membuat kain ini menutup rapat aurat bagian atas mereka. Sang askar menegur perempuan India ini karena rambutnya tampak menyembul di antara kerudung dan dahinya, sungguh sayang jika thawafnya jadi tidak bernilai. Saya sendiri pernah ditegur dengan panggilan ”hajjah” oleh askar wanita di Masjid Nabawi karena salah masuk area sholat yang sudah penuh oleh jamaah. Penyebutan ”Hajj” dan ”Hajjah” ini dilakukan sebagai panggilan praktis dari penduduk di sana terhadap para jamaah haji/umroh.
            ”Bu Haji, ojek, Bu..” Tukang ojek, tukang sayur, atau tukang-tukang lain di Indonesia yang memerlukan simpati dari calon pelanggan biasanya menggunakan sebutan ini bagi ibu-ibu berjilbab atau bapak-bapak berkopiah. Kadang ampuh dan diiringi ”aamiin”, kadang justru berujung umpatan.
Pak Haji
            ”Eh.. Pak Haji udah rapi, mau ke masjid, Pak?” Sementara sapaan macam ini biasanya disematkan pada mereka yang memang diketahui sudah berhaji. Penyebutan gelar haji pun beriringan dengan gelar-gelar akademis macam, Prof. Dr. H. Ing. B.J. Habibie atau sekadar mencirikan keislaman macam, H.M. Soeharto. Seolah-olah semakin panjang gelaran dalam nama, semakin terhormat seseorang. Benarkah ”haji” adalah gelar kehormatan?
Sejarah haji di Indonesia menyimpan catatan tersendiri mengenai perkembangan Islam di Indonesia. Akan tetapi yang akan saya paparkan di sini adalah jumlah jamaah haji dan presentasenya pada masa-masa tertentu saja. Pada tahun 1897-1898, dari 30 ribu jamaah yang mendarat di Jeddah, sebanyak 7.900 atau 20 persen berasal dari Hindia Belanda. Lalu pada 1911-1912, dari 83 ribu jamaah, jamaah Hindia Belanda mencapai 22 persen (18.400). Kemudian pada 1920-1921, dari 61 ribu jamaah, ada 47 persen (28.800) jamaah dari Hindia Belanda. Sementara pada tahun 1930-1931, dengan 40 ribu jamaah, sebanyak 17 ribu jamaah (42 persen) adalah jamaah haji dari Hindia Belanda. Angka-angka di atas bukanlah angka yang sedikit. (Republika Kamis, 11 November 2010). Hari ini telah berada di Bukit Arafah, (berapa, %) jamaah Indonesia.
Perjalanan haji adalah perjalanan yang menuntut banyak pengorbanan. Sekadar pengorbanan satu juta rupiah kambing atau delapan juta rupiah sapi sebagai kurban, tidak berarti apa-apa jika dibanding dengan hal-hal yang perlu dikeluarkan dan dtinggalkan selama berhaji. Apalagi bagi negeri jauh seperti Indonesia. Terbayangkah di benak bagaimana perjalanan haji minim teknologi pada tahun 1897?
            Sebelum tahun 1978, perjalanan haji belum menggunakan pesawat terbang, hanya kapal layar dan kapal uap. Abdullah bin Abdulkadir Munsyi naik haji dengan. kapal layar pada 1854. Saat mendekati Srilangka (Ceylon) kapalnya diserang angin. Mualim, seperti ditulis Abdullah, berseru pada para jamaah, ”Kamu sekalian pintalah doa kepada Allah kerana tiap-tiap tahun di sini ada beberapa kapal yang hilang. Tiadalah kedapatan lagi namanya, tiada hidup bagi seorang.” Abdullah pun menggambarkan tingginya gelombang yang mengempas kapal. Dalam ombang-ambing kapal, muntah dan kencing dialami banyak jamaah di kapal. ”Tiadalah lain lagi dalam fikiran manusia melainkan mati,” tulis Abdullah yang selamat sampai Mekah tapi tak berapa lama meninggal dunia di sana. Ini hanya sebuah gambaran dari banyak kejadian pada masa itu yang saya dapatkan dari Republika Kamis, 11 November 2010.

            Betapa kerinduan yang mendesak-desak, telah mengorbankan segalanya. Betapa panggilan yang menyeru-nyeru, telah terngiang-ngiang begitu dekatnya.

Lihatlah Muhammad Darwisy yang menjadi KH. Ahmad Dahlan (berhaji pada 1883-1888 dan 1903-1905), pendiri Muhammadiyah yang hingga hari ini tetap terasa pengaruhnya dalam memajukan Islam di Indonesia. Tengok pula Syekh H. Burhanudin Ulakan, ulama dari Pariaman yang dalam kepulangan hajinya mendirikan model pendidikan Islam di Sumatera Barat yang amat termahsyur,surau (pulang haji pada tahun 1608). Haji Agus Salim atau Masyudul Haq yang menunaikan haji dalam tugasnya menjadi dragon man (ahli penerjemah) di Konsulat Belanda, Jeddah sejak 1906-1911. Begitu pun KH. Wahab Chasbullah, pendiri Nadhalatul Wathan yang disebut sebagai cikal bakal Nahdlatul Ulama, termasuk pendiri NU KH. Hasyim Asy'ari. Kemudian, KH. Abdulhalim, ulama Majalengka yang mendirikan Persyarikatan Ulama (19117) yang  meluas ke Jawa dan Madura (1924). Serta para haji pendiri pesantren seperti, KH. Irfan (Ciamis), KH. Soedjak (Cirebon), KH. Agus (Pekalongan), Tuan Guru KH. Muhammad Zainudin Abdul Majid (Lombok), H. Mahmud Soesilo Soewignyo (Kalimantan Barat), dan sederet nama lainnya yang tidak bisa saya tuliskan dan dapatkan seluruhnya.

Bagi para ulama ini, haji bukan sebutan di bibir. Haji adalah tanggung jawab. Menjadi haji berarti menjadi guru yang membawa ilmu keislaman “asli”. Sebutan haji adalah penghormatan dari masyarakat muslim Indonesia bagi seorang pelita. Haji adalah penggerak umat. Merekalah yang mengokokohkan Islam di bumi Indonesia.

Itulah sekelumit pendapat penulis mengapa sebutan "haji" menjadi tradisi yang begitu melekat. Tahun berganti tahun, pergeseran makna tak dapat dielakkan. Begitu pun dengan perkembangan zaman dan segala hal yang mengiringinya. Jika dahulu berhaji dilakukan sambil menuntut ilmu keislaman. Kini kita dapat dengan mudah mengakses ilmu-ilmu tersebut melalui berbagai cara. Ulama dengan segudang ilmu semakin banyak,  kemudahan akses internet pun sangat memanjakan.  Namun yang tidak berubah hingga kini, tujuan utama berhaji adalah menggapai haji yang mabrur. Mabrur berasal dari kata al birru yang berarti kebaikan, maka mabrur adalah haji yang mengantarkan pelakunya menjadi lebih baik dari masa sebelumnya. Al Qur’an juga menggunakan kata al birru untuk pengabdian yang terus menerus kepada orang tua  dalam QS. 19:32. Orang-orang yang selalu mentaati Allah swt dan menjauhi segala yang dilarang disebut al abraar, kelak mereka dihari kiamat akan ditempatkan di surga. 


Lalu dimana Pak Haji dan Bu Haji hari ini? Semoga meraih haji mabrur...!         


Selamat Hari Raya Idul Adha 1431 H


Allahumma inni a’udzubika an usyrika bika wa ana a’lam wa astaghfiruka lima laa a’lam 
(‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku sadari. Dan aku memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosa yang tidak aku ketahui).



[1]

Kamis, 11 November 2010

Hiburan

Hello, there....!

This one is particularly the better posting then the last one. hope so.. Karena oh karena yang terakhir itu unstable ya, hanya bisa racau meracau, jadi inilah insight dari bayang-bayang kejadian kemarin malam (tapi ini kenapa semuanya italic?? kurang kosakata, heu)

Pertama itu, patuh sama orangtua itu memang semestinya, kecuali klo orang tua menyuruh anaknya bermaksiat pada Allah. Ga perlu deh tuh ngegerung-gerung apalagi ngeluh-ngeluh. Insting mereka lebih kuat dan pengalaman mereka jauh lebih kaya. Bolehah kita sampaikan soal gap generation antara anak dan orangtua, gaya komunikasi yang berbeda, pemahaman yang jauh berubah, era yang sama sekali baru bagi mereka, tapi semua hal ini sungguh tidak mengurangi hak mereka atas kita sebagai anak dan kewajiban kita terhadap mereka..

Kedua, Allah sadarkan saya soal menikah. Tepatnya, inilah puncak dari ketersadaran yang Allah berikan itu. Heu. Perlindungan;penjagaan dari maksiat yang bertambah-tambah - keselamatan;da’wah;syukur - setengah din - Rasulullah teladan. Inilah. Menemukan niat yang sesungguhnya. Meluruskan niat terus menerus. Melepaskan lelaki idaman. Ridho dengan pilihan-Nya. Begitulah saya memilih-nya. Lebih kuat jika saatnya tiba. Sadar bahwa kekuatan itu hadir dari setengah-din-hari-ini sebelum setengah-din-yang-akan-datang. Kekuatan untuk melepaskan dan menerima :’) (special thank’s to Jica my lovely)


Ketiga, QS An-Nuur:31. Sama seperti poin pertama, ketetapan Allah udah harga mati! Bukan rugi melainkan untung bagi sesiapa yang follow him whether as tweeps or on these entire life (apa deh??) Beberapa tahun silam, antara enam sampai tujuh tahun, Allah menyadarkan saya soal isi QS tersebut di awal. Ya, sebagai realisasi nama "fathan" yang bukan hanya disebut sebagai pemenang tapi bisa juga berarti pionir, dengan lantang saya mengkaafahkan jilbab. Maka, Allah yang begitu mencintai saya ini :') (duuh sungguh, malu), menegur, kalau dulu begitu-pun hari ini! Jangan senang kembali pada kekufuran dong. Mo diajak salaman sama Obama, kek! (kalo sama first lady-nya bolehlaah sayaa) Mo sama sepupu yang baiknya setengah mati, kek! Mo lagi dalam kondisi keki dan terjepit, kek! Jagalah Allah melalui QS An-Nuur: 31 ini :)

Yup! Jagalah Allah maka Allah akan menjagamu. Dalam setiap apapun yang kita hadapi. Melalui segala sesuatu pun yang menghampiri kita secara tajam maupun tumpul. Muroqobatullah. Digging those 'ilm as much as possible. Al Qur'an. His rules, period (.)

Nah, muroqobatullah itu harus diiringi dengan dzikir, bukan? Pagi-sore, setelah sholat wajib, setelah sholat sunnah, saat  berpuasa,  baca Al Qur'an, daripada bengong di angkot, and so on.. and so on.. Istighfar itu memiliki dua makna. Pertama, saat mengucapkan astaghfirullahal 'adzim, berarti kita minta ampun pada Allah, minta dimaafkan kesalahan kita, dan minta ditutupi aib kita. Kedua, saat mengucapkan astaghfirullahal 'adzim berarti kita minta pada Allah, mohon kepada Allah agar Allah memperbaiki hidup kita, membuat kita nikmat dalam ibadah, khusyuk, dan menjadikan akhlak kita mulia (M. Ridwan, 2010).

Dan yang terbaik, yakinlah bahwa Allah mencintaimu(ku). Tidak ada cara lain selain berkeyakinan kuat (baca: beriman) dan bersungguh-sungguh. Pada Allah itu saja~ 

bukan mudah memang, tetapi tak ada alasan untuk tidak bersemangat dan berbahagia dalam menjalani hidup, sungguh deeh..







Senin, 08 November 2010

Bukan Galau Lebih Serius Dari Itu

http://thesituationist.wordpress.com
Hari ini puas sekali browsing sanasini, pengajarmuda Indonesia Mengajar sudah diberangkatkan, Halmahera, Bengkalis, pedalaman Kalimantan, dan beberapa pelosok lain yang saya sendiri tidak hapal namanya. Melihat blog dan akun fesbuk mereka serasa melihat mimpi-mimpi anak Indonesia, serasa melihat mimpi sendiri lewat orang lain, seperti melihat dongeng.. karena sayangnya seberapa besar pun ingin, saya tidak bisa menjadi bagian dari 51 pemuda itu. ~aaahhh.. iri..


Teraduk endapannya.


Melihat-lihat mereka membuat beberapa jenak saya terlupa soal keberadaan dan rasa tak berarti yg sejak tengah malam menghantui, yang membawa saya ke perpustakaan nasional di Salemba ini. 


Manusia bukanlah apa-apa, termasuk saya tanpa topangan maha dahsyat dari Penggenggam Alam Semesta ini. Manusia memang tempat aib ibarat air laut di palnet bumi hanya saja Allah berbaik hati menutupinya.


Ah, itu saya! Saya yang tidak ada artinya, tidak dianggap sebagai sesuatu, segala upaya penjagaan terhadap diri ini tidak ada apa-apanya jika bukan Allah yang membangunkan saya malam tadi. Dua malam tepatnya. Kenapa bisa begitu teganya? Saya memang tidak ada artinya begini.


Memuliakan. Dimuliakan




http://muslim1st.com
Ah, betapa baiknya Allah pada saya.. atas segala kezoliman saya atas-Nya atas diri sendiri. Saya berpikir dosa apa yang sudah saya buat sehingga Allah timpakan ini? Tapi toh, nyatanya tidak benar-benar menimpa. Saya linglung, tidak ada yang bisa dipercaya. Hanya satu, melakukan segala hal yang Allah telah tetapkan, diinginkan-Nya atas manusia beriman, lebih dari cukup untuk membuat hidup seimbang serta berbahagia...




hanya saja sementara ini saya masih mau di sini, di tempat itu pun tak mengapa, asal jangan tempat pulang dulu, plis.



Kamis, 04 November 2010

Momiji Itu Musim Semi

Iyaph! Momiji itu nama lain dari musim semi dalam Bahasa Jepang. Tepatnya deretan pepohonan yang membentuk gradasi warna hijau, kuning, oranye, dan merah yang memukau pada Maret hingga Juni di negara empat musim belahan selatan bumi dan pada September hingga Desember di negara empat musim belahan utara bumi. Entah sejak kapan saya jatuh hati pada pemandangan ini. Meski belum pernah melihatnya secara langsung, tapi rasanya menyejukkan sekaligus menenangkan. Sementara di sisi lain, momiji juga kaya warna-warna ceria yang menguggah, menginspirasi. Musim semi memang berakhir gugur, tapi itu terjadi untuk hijau kembali. Pada saya yang sulit mengidolakan sesuatu atau seseorang, menemukan dan menyukai momiji macam ini adalah hal yang luar biasa, karena filosifinya gua banget. Maka inilah momiji warnawarni, dimulai pada saat warnawarninya sedang cerahcerahnya :D